Search
Close this search box.

Kopi

Kopi

Karya : Annzhu

Kadang jadi diriku itu keren, bisa jadi apa saja. Saat jadi anak, aku akan jadi anak perempuan manis yang bisa menyenangkan hati orang tuaku, saat jadi adik aku akan jadi adik yang manja atau adik yang menyebalkan, tergantung situasi dan kondisi. Hehehehehehe. Dan saat jadi teman aku akan jadi teman yang selalu dibutuhkan temanku. Entahlah aku selalu suka peran itu. 

Aku selalu suka saat temanku mencari diriku jika mereka sedang dalam keadaan terdesak. Bahkan sangat terdesak. Situasi yang seperti itu membuat mereka sibuk mencari pertolongan, dan peran menjadi penolong mereka adalah hal yang amat kusukai. Karena dengan begitu mereka akan sayang padaku. Menjadi lebih dekat denganku. Dan pada akhirnya akan terus menjadi temanku. Aku suka punya banyak teman, karena mamah selalu bilang. 

” Punya banyak teman berarti banyak kesempatan kamu untuk jadi orang baik. Jadilah orang yang bermanfaat. “

Ya, orang yang bermanfaat. Pesan dari mamah yang selalu kuingat. Dan kujalankan. Meski aku suka menolong teman yang kesulitan, bukan berarti aku berharap mereka selalu kesulitan. Tidak, itu jahat namanya. 

Ada hal baik yang rutin kulakukan setiap bulan untuk temanku. Nina. Ia cerita tentang kesulitannya di suatu sore di kedai kopi tempat kami bekerja. 

” Ibu gue kemarin ke dokter, dan akhirnya ketahuan kalo ibu punya penyakit jantung. ” ucap Nina sendu. Matanya berkaca-kaca.

” Ya Allah. Terus gimana?” 

” Ya mau ga mau, tiap bulan harus ke dokter, buat kontrol dan tebus obat. ” 

Lalu Nina melanjutkan.

” Biaya sekali kontrol bisa 20 persen dari gaji gue disini. ” 

Aku diam sejenak. Nina sudah tidak punya ayah. Dan dia satu-satunya yang bekerja dirumah. Ibunya membuka warung kecil. Adiknya masih sekolah. Pasti berat untuknya.

Sejak hari itu, aku membantu Nina membayar biaya kontrol bulanan ibunya. Meski hanya mampu separuh. Namun Nina sungguh berterimakasih. Karena ia benar-benar terbantu. 

” Gue janji akan balas budi baik lu suatu hari nanti Sin. ” ucapnya menggenggam tanganku erat. 

Namun hal berbeda kurasakan saat Nina mulai menjalin hubungan dengan Eki. Cowok yang meminta nomornya beberapa minggu lalu. Nina seakan lebih sibuk dengan cowok itu ketimbang ibunya. Cerita yang kudapat dari teman sesama pekerja lain, Eki cowoknya ini agak posesif. Jika menjemput Nina pulang kerja, nada suaranya terkesan galak.

” Ayo, cepetan. “

Ia juga sering pulang terlambat ke rumahnya. Pernah aku iseng ke rumahnya sepulang kerja, kudapati ibunya sedang sibuk menutup warung sendirian. Nina malah belum pulang. Dari cerita ibunya, Nina bilang kedai sedang ramai, jadi sering lembur. Aku diam saja. Lalu kuajak ibunya kontrol. Yang ternyata sudah telat beberapa hari.

Esoknya saat di kedai aku menegurnya.

” Nin, lu kemaren pulang kerja kemana? “

” Anter ibu kontrol. ” jawab Nina acuh. Aku mendengus.

” Ngimpi lu? Gue yang anter ibu lu kontrol. Ibu lu bilang lu lembur. ” aku menatapnya sinis. 

Nina terbelalak. Matanya berkedip-kedip ke kanan dan ke kiri. Seakan bingung mau jawab apa. Aku masih memandangnya tajam.

” Itu..ii..iituu…” 

” Jangan sia-siain ibu lu hanya karena cowok rese kayak Eki. Eki bukan apa-apa Nin. ” aku mengucap kata-kata itu dengan kesal dan hampir menangis. Tak kuduga Nina malah balas memandangku sinis.

” Lu yang bukan apa-apa. Jangan karena lu bantu biaya kontrol ibu gue lu jadi ngerasa punya hak untuk ngatur gue. Eki itu segalanya. Dia sayang banget sama gue.” 

Nina berkata ketus. Aku memandangnya tak percaya. 

” Ga usah ngurusin gue atau ibu gue. Lu ga tau apa-apa soal gue. Jadi ga usah sok ngatur. ” Nina berlalu meninggalkan aku yang masih tertegun.

Dirumah, aku masih memikirkan kata-kata Nina. Apa benar aku semenyebalkan itu? Apa ada hal salah yang tak sengaja aku lakukan? 

Mamah mengetuk pintu kamarku yang terbuka, aku memandangnya. Mamah menghampiri dan duduk disebelahku di tepi kasur.

” Kenapa Sin?”

” Apa iya Sinta nyebelin mah?” aku balik bertanya.

” Siapa yang bilang?”

” Nina. Dia bilang jangan karena Sinta bantuin biaya berobat ibunya, Sinta ngatur hidup dia. ” jelasku. 

” Emangnya kamu atur hidup dia?” 

Aku lalu bercerita detailnya ke mamah. Tentang Eki, tentang ibunya Nina dan Nina yang berubah. Mamah manggut-manggut. 

” Berarti Eki yang ngerubah pemikiran Nina. Bukan kamu yang nyebelin.” kata mamah. 

” Sinta harus gimana mah?” 

” Ga usah gimana-gimana. Tetep jadi Sinta yang biasanya. “

” Terus Sinta harus tetep nolong ibunya Nina?”

” Tergantung. Kamu emang niat bantu kesulitan ibunya atau hanya karena pengen disayang sama Nina. Itu beda lo Sin. ” 

Aku diam. Memikirkan ucapan mamah. Benar, jangan karena sikap Nina yang seperti itu aku jadi tak lagi membantu ibunya. Itu dua hal yang berbeda. 

 

Sudah beberapa minggu Nina mendiamkanku. Tak menyapa atau menggubrisku saat di kedai. Aku ingin sekali memakinya. Memangnya aku berbuat salah yang sedemikian besar apa? Sampai dia harus mendiamkanku. 

Aku sedang memilah-milah biji kopi yang masih layak dan yang tidak dengan malas. Biasanya aku melakukan ini dengan Nina sambil bercanda haha hihi. Tapi situasinya kini berbeda. Gara-gara lelaki sampah itu. Eh, aku baru sadar sudah beberapa hari dia tak dijemput pujaan hatinya. Apa mereka bertengkar ya? Loh, ngapain juga aku peduli. Aku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Aku ingin segera pulang. Namun sebuah suara keras dari luar mengalihkan perhatianku dari memilih biji kopi. Aku mengintip dari jendela kedai. Tampak Nina dan Eki tengah bertengkar. Yang mengejutkan Eki menampar wajahnya Nina. Aku tersulut emosi, namun ingatanku akan Nina yang menghardikku membuatku menghentikan langkah. Untuk apa aku membantunya? 

Dan senyuman mamah menuntunku kembali pada apa yang seharusnya aku lakukan. 

Plaaakkk!!!

Tamparan keras kuhadiahkan pada Eki yang masih membentak-bentak Nina beberapa detik lalu. Ia meringis kesakitan lalu melotot padaku. Kuraih tangan Nina dan menariknya ke balik punggungku. Tanpa ragu aku berkata lantang padanya.

” Jadi cowok jangan berani-berani pukul cewek!!! Sampah!!!” 

Aku membawa Nina pergi dari situ. Nina terlihat senang. Meski hendak menangis. Eki masih h memegang pipinya yang memerah sambil berlalu pergi.  

Nina masih tersedu didepanku. Aku yang melanjutkan memilah biji kopi mencoba mendiamkannya. 

“ Udah Nin. Cowok kayak Eki ga pantes buat ditangisi. “

“ Tapi Sin. Sebenernya…”

“ Sebenernya apa?”

“ Sebenernya dia itu suka sama lu. Waktu dia minta nomer gue, maksud dia itu mau deketin lu. Cuma gue mau tahu dulu dia orangnya kayak gimana. “

Aku terkejut mendengar pernyataan Nina. 

“ Trus kenapa lu sampe harus berubah? “

“ Karena gue terpaksa Sin. Dia ngancem gue ini itu. Gue juga ga maksud ga nganterin ibu kontrol. Gue cuma mau ngelindungin lu, temen gue. “

“ Kenapa lu baru bilang sekarang? “

“ Karena gue takut lu ga percaya sama gue. “

Aku memeluk Nina erat, memeluk temanku. Teman baikku. Dalam keadaan masih berpelukan Nina berbisik kepadaku. 

“ Terus Eki gimana? Dia ga bakal diem aja setelah lu tampar tadi. “

“ Kita kasih dia hadiah ya, biar dia maafin kita. “ 

Aku mengajak Nina membuntuti Eki sampai ke rumahnya. Ternyata bukan rumah, melainkan sebuah kos berukuran kecil. Sedikit kumuh dengan halaman depan yang rimbun karena pohon mangga yang berdaun lebat. Agak jauh juga dari jalanan besar.

Sesampainya disana Eki tampak langsung merebahkan dirinya ke kasur. Aku dan Nina meletakkan gelas minuman berisi kopi kesukaan Eki di depan pintu kos kamarnya. Rupanya inilah yang tadi membuat mereka bertengkar. Eki ingin Nina membelikannya kopi itu, namun Nina menolak karena kopi itu berasal dari kedai saingan kami di ujung jalan. Aku mengetuk pintu kamarnya lalu buru-buru bersembunyi di sebalik pohon mangga bersama Nina. Kami bisa melihat Eki mengambil gelas itu sambil tersenyum mengejek. 

‘ Dasar cewek. Ujung-ujungnya juga ngebaikin gue. “

Eki masuk ke kamarnya. Aku dan Nina melakukan tos. Lalu segera berlalu dari kos kumuh ini. Menunggu berita esok pagi dengan judul ‘ Sesosok lelaki tewas di kamar kosnya karena keracunan kopi yang sudah kadaluarsa. ‘

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Scroll to Top