Tujuh Tahun Menjadi Ibumu

Hari ini, kamu tujuh tahun, Nak.

Tujuh tahun sejak tangismu pertama kali terdengar, sejak tubuh kecilmu pertama kali meringkuk dalam pelukanku. Tujuh tahun yang mengubah segalanya.

 

Kadang Mama merasa masih terlalu baru dalam semua ini.

Masih belajar menahan lelah, belajar sabar saat kamu ngambek karena sandalmu nggak matching, atau saat kamu bilang Mama nggak adil hanya karena Mama membagi camilan lebih banyak ke adikmu. Tapi sungguh, bahkan dalam lelah dan bingung itu, Mama tetap merasa beruntung. Beruntung karena bisa jadi orang pertama yang kamu cari saat jatuh, saat sedih, saat ingin peluk.

 

Tujuh tahun, ternyata begitu cepat ya?

Rasanya baru kemarin Mama belajar mengganti popok sambil gugup, menenangkan tangismu yang belum kumengerti artinya, dan menatapmu lama-lama dalam tidurmu. Sekarang kamu sudah bisa protes kalau baju yang Mama pilih warnanya “kurang seru,” sudah bisa baca tulisan di jalan, sudah bisa pelan-pelan menyusun impianmu.

 

Tapi di balik rasa bangga itu, ada juga rasa bersalah.

Mama tahu Mama nggak selalu hadir penuh. Ada hari-hari di mana Mama terlalu sibuk, terlalu capek, terlalu cepat marah. Ada momen-momen kecil yang terlewat, ada permintaan main bareng yang ditunda, ada gambar hasil karyamu yang cuma Mama lihat sekilas karena Mama harus jawab pesan kerjaan. Dan malam-malam setelah kamu tidur, Mama sering duduk diam di sampingmu… menyesal.

 

Maaf ya, Nak.

Maaf kalau kadang Mama terlalu cerewet. Maaf kalau suara Mama tinggi, padahal kamu cuma ingin dimengerti. Maaf kalau Mama suka bilang, “Bentar ya,” tapi sering nggak benar-benar datang setelahnya. Maaf kalau belum bisa jadi ibu yang kamu bayangkan dari cerita dongeng. Tapi percayalah, Nak… Mama selalu berusaha jadi yang terbaik untukmu—dengan cara yang Mama bisa.

 

Di ulang tahunmu ini, Mama ingin bilang terima kasih.

Terima kasih karena kamu tumbuh jadi anak yang penuh cinta. Terima kasih karena kamu sering jadi pengingat: untuk pelan-pelan, untuk menikmati waktu, untuk memaafkan diri sendiri. Terima kasih karena kamu sering bilang, “Mama capek ya? Sini aku peluk.” Sungguh, pelukanmu itu seperti obat yang tak bisa Mama beli di mana pun.

 

Ada rasa takut yang juga Mama pendam.

Takut suatu saat kamu akan melihat Mama sebagai sosok yang gagal. Takut kamu tumbuh dan menyimpan luka dari cara Mama mengasuhmu. Takut kamu merasa kurang dicintai, walau sesungguhnya rasa itu tak pernah habis. Tapi di antara semua takut itu, Mama juga belajar percaya. Percaya bahwa cinta yang tulus, walau kadang terbata, akan tetap sampai ke hatimu.

 

Kamu tahu, sayang…

Sejak jadi ibumu, Mama juga belajar menjadi anak lagi—anak dari waktu, anak dari rindu, anak dari doa-doa Mama sendiri. Kamu membuat Mama lebih banyak bicara pada Allah, lebih sering menangis dalam sujud, dan lebih mengerti bahwa kebahagiaan itu bukan soal punya segalanya, tapi bisa menemanimu tumbuh, detik demi detik.

 

Hari ini, kamu tujuh tahun.

Mungkin nanti kamu nggak ingat semua hadiah yang Mama beri. Tapi semoga kamu selalu ingat bahwa setiap ulang tahunmu, Mama merayakan dua hal: hari kelahiranmu, dan hari Mama dilahirkan kembali sebagai seorang ibu.

 

Dan kalau suatu saat kamu membaca ini—mungkin saat ulang tahunmu yang ke-17, atau 27, atau saat kamu juga menjadi ibu—Mama ingin kamu tahu: menjadi ibumu adalah hal paling besar yang pernah terjadi dalam hidup Mama.

 

Doa Mama selalu bersamamu.

Di setiap detik, di setiap perjalananmu yang Mama mungkin tak bisa dampingi sepenuhnya nanti. Di setiap tempat kamu melangkah, bahkan saat kamu sedang nggak ingin Mama terlalu dekat.

 

Kamu boleh terbang tinggi, sejauh yang kamu mau, tapi Mama akan selalu jadi rumah.

Rumah yang mungkin sepi, tapi selalu ada. Rumah yang nggak sempurna, tapi penuh doa.

 

Selamat ulang tahun ya, Rani sayang.

Terima kasih karena sudah memilih Mama sebagai tempat pertamamu belajar dunia.

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Scroll to Top