Search
Close this search box.

Cerpen Menerima Diri Sendiri

Aku Cinta Rambut Pirangku 

Cerpen Menerima Diri Sendiri
Cerpen Menerima Diri Sendiri

Aku baru selesai mandi dan sedang menyisir rambut di depan cermin ketika Aska, suamiku memasuki kamar. Ia lalu membelai lembut rambutku. 

” Rambutmu bagus. ” ucapnya. 

Aku tersenyum mendengarnya. Ia kemudian mencium puncak kepalaku dan berkata lagi. 

” Hmmm…wangi. Aku selalu suka rambut kamu. Warnanya bagus dan wangi. Rambut kamu kayak rapunzel. Dari dulu warnanya kayak gini?” tanyanya sambil membelai lembut rambutku. Aku terdiam. Entah kenapa pertanyaan Aska membuatku teringat akan kenangan sedih masa kecilku dulu. 

Aska menyadari sikapku dan bertanya lagi. 

” Kenapa diem sayang?”

Aku meletakkan sisir di meja rias dan menatapnya sendu. 

” Kalau kamu ketemunya waktu aku masih kecil, mungkin kamu engga akan bilang warna rambutku bagus.” ucapku sambil tersenyum getir. Kening Aska mengerut. 

” Kok kamu bilangnya gitu?” 

Aku duduk di tepi ranjang, Aska mengikuti duduk disampingku. 

” Dulu warna rambutku pirang keemasan, bukan kayak sekarang coklat gelap,walaupun masih ada pirangnya. ” ujarku lagi. 

” Bagus dong, kayak rambut barbie. ” sahut Aska. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Suamiku memang hatinya baik sekali. Dia tidak berpikir rambutku jelek seperti orang lain saat mengatakannya dulu. Pikiranku melayang ke masa lampau saat aku masih berusia 7 tahun.

Aku menangis tersedu – sedu sambil berjalan pulang dari sekolah. Mama membiarkanku tetap menangis sesampainya aku di rumah. Setelah aku lelah dan berhenti menangis baru Mama menghiburku.

” Sudah engga usah didengar apapun yang mereka bilang. ” ucap Mama seakan tahu apa yang kualami. Aku menatap Mama marah. 

” Mama engga tahu sih rasanya dibilang orang aneh, dibilang penjajah,dibilang turis, cuma karena rambut aku pirang kayak orang Belanda. ” berangku. 

Mama tersenyum membelaiku. 

” Rambut Noni bagus kok. Kan kamu memang orang Belanda, nenek kan dari sana. Makanya kamu punya rambut ini. Gen nenek ada di badan kamu. ” Mama sudah berkali-kali menjelaskan ini padaku. Namun entah kenapa nalarku sulit menerimanya. Kenapa kakak-kakakku yang 5 orang itu tidak ada satupun yang rambutnya seperti aku? Kenapa hanya aku? 

Mama mengusap air mataku yang menetes lagi. 

” Aku engga mau diejek lagi mah. Aku benci rambut pirang ini. ” ucapku pelan. Mama menarik tanganku yang tengah menjambak rambutku sendiri. 

Mama memelukku dan berujar. 

” Anak mama cantik, rambutnya bagus beda sama yang lain. ” Mama membelai kepalaku. 

” Ucapan mama bener. Memang kamu cantik. ” ucap Aska membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum dan menghela nafas pelan. 

” Namanya juga anak-anak. Karena engga pernah liat orang bule jadi ngeledekin kamu deh. Dianggap aneh. Coba kalau mereka dibawa ke Bali, pasti mingkem engga akan berani ejek-ejek orang. ” kata Aska lagi membuatku tertawa. 

” Tapi karena aku juga masih anak-anak jadi aku ambil hati ucapan mereka. Aku selalu sakit hati setiap ada yang teriakin aku ‘ Bule lewat bule lewat, penjajah lewat penjajah lewat ‘ aku nangis dan langsung lari kenceng sampai rumah. Dan itu bisa setiap hari. Engga ada yang anggap rambut aku bagus kayak barbie seperti yang kamu bilang tadi.” kataku panjang. Aska mengelus rambutku lagi. 

” Di sekolah juga ada yang anggap aku aneh  ” sambungku.

” Siapa?” tanya Aska penasaran.

” Kamu mau denger cerita aku lagi?” aku balik bertanya. 

” Maulah.” jawab Aska  tanpa ragu. 

Aku tak bisa lupa namanya hingga dewasa. Bukan karena kebaikannya atau karena kami sekelas selama 6 tahun. Tapi karena perlakuannya padaku yang menyakitkan. Namanya Wahyudi. Dia selalu menunjukkan sikap tidak sukanya padaku. Selalu bergidik tiap kali kami berpapasan dalam kelas seakan aku ini orang yang punya penyakit menular. Kami tidak pernah berbicara satu sama lain apalagi bertengkar. Jadi apa alasannya dia seperti itu padaku? Apa karena rambutku pirang?  Kenapa hal itu sangat menganggunya? 

Pernah satu kali saat ikut Mama belanja ke supermarket aku mengambil pewarna rambut warna hitam dan memasukkannya di troli belanjaan Mama. Tapi sesampainya di kasir , Mama meletakkannya kembali di rak terdekat dan memandang lembut diriku. 

” Noni engga butuh itu. Noni cantik dari ujung rambut sampai ujung kaki ” kata Mama saat aku protes kenapa Mama tidak mau membelikanku pewarna rambut hitam. 

” Kamu kok bisa kepikiran beli semir rambut sih? ” kata Aska sambil terbahak. Aku ikut tertawa bersamanya. Hal itu kini lucu bagiku. Tapi dulu tidak. 

” Ya kamu bayangin aja, di sekolah ada orang yang bully kamu walaupun secara ga langsung, eh di sekitaran rumah juga. Apa engga jenuh? ” ujarku terus terang. 

” Temen sekolah kamu engga gitu semua kan? Temen main yang di rumah juga pasti adalah yang engga pernah ejek kamu.” kata Aska. 

” Iya ada satu dua orang yang normal sikapnya ke aku. Tapi tetep aja aku sedih tiap ada anak yang ejek aku.” ujarku. 

” Ya wajar. ” sahut Aska pendek. Kami sudah pindah tempat mengobrol dari kamar ke teras. Sambil memandang koleksi tanaman hias kami. Aku baru beberapa bulan menikah dengan Aska dan sedang menanti kelahiran buah hati pertama kami. 

” Pokoknya yang paling nyenengin itu waktu SMP. Kayak hilang semua beban hidup. ” lanjutku sambil tersenyum lebar. Aska menatapku tak percaya. 

” Masa?” tanyanya. Aku mengangguk melanjutkan ceritaku. 

Mama menghela napas panjang sambil memegang formulir pendaftaran SMP ku. Sengaja aku memilih SMP yang jauh dari lingkungan rumah. Walaupun harus naik angkutan umum dua kali karena jaraknya. 

” Aku engga mau sekolah yang deket-deket sini. Pasti ada temen SD atau tetangga sini yang juga daftar di sana. Mending aku pilih yang jauh. Kan kita juga engga mungkin pindah rumah.” jelasku membela diri. Aku sudah diterima di SMP Lawu. Tinggal mengurus biaya pendaftarannya saja. Mama masih ragu karena jaraknya yang jauh. Mama seperti belum rela. Ada kekhawatiran tersendiri khas orang tua yang masih menganggap anaknya masih kecil.

” Noni yakin? Ini jauh loh, bisa sejam dari rumah. Kamu harus bangun pagi-pagi. ” Mama mengingatkan. Aku mengangguk mantap. 

” Yakin ma. Mama engga perlu khawatir ya. ” tegasku. Akhirnya mama mengizinkan karena beliau tahu aku ingin mendapatkan lingkungan baru. Dan betul dugaanku, tak ada satupun orang yang kukenal di SMP Lawu. Hari  pertama sekolah aku was-was akan menjadi pusat perhatian orang karena rambut pirangku ini. Tapi kecemasanku tak terjadi, aku seperti masuk ke dunia baru. Tak ada orang yang melemparkan pandangan aneh atau jijik kepadaku. Semuanya biasa saja. Seakan-akan mereka sudah sering melihat orang berambut pirang sepertiku. Aku menikmatinya. Aku berkenalan dengan banyak orang dan tersenyum sepanjang hari. Ada yang bertanya tentang rambutku namun sopan sekali tanpa membuatku sakit hati. Aku hanya perlu menjelaskan kalau ini adalah hasil dari gen nenekku yang asli orang Belanda. Setelah itu selesai, aku bisa berbicara banyak dengan mereka tanpa lagi membahas rambutku.

Mama juga lebih tenang dan lega karena aku tidak lagi pulang sambil menangis. 

” Proses aku bisa nerima rambut pirang ini ya pas masuk SMP itu.” ucapku pada Aska. ” Senengnya engga bisa diungkapin dengan kata-kata. Engga ada yang jijik ngeliat aku, atau teriak-teriak ‘bule lewat bule lewat’ lagi di depanku. ” aku tersenyum lagi. Aska menggenggam tanganku. 

“Ketika aku berada di lingkungan yang nerima aku apa adanya ya pada akhirnya aku bisa nerima diri aku sendiri apa adanya. Engga lagi pengen seperti orang lain. Bahkan pas aku kerja di salon dan ada tamu yang minta dicat rambutnya persis dengan warna rambutku, ada rasa bahagia dan bangga yang engga akan pernah bisa dimengerti orang lain.” kataku lagi. Aska mengelus rambutku. 

” Aku cinta kamu.” ucapnya.

” Aku cinta rambutku.” balasku dan kamipun tertawa bersama. 

 

* Anmita Zulaika lahir di Malang tanggal 9 Juni, seorang ibu rumah tangga sejati sejak 3 tahun yang lalu, jejaknya bisa dilihat di akun instagram @anmitazulaika atau facebook Anmita Zulaika. Bersyukurlah untuk setiap napas yang Allah berikan padamu.*

 

Baca Juga :

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Scroll to Top