Search
Close this search box.

Kiriman Ghaib

Kiriman Ghaib

 

Kiriman Ghaib
Kiriman Ghaib

Cerita ini terinspirasi dari sebuah kisah nyata yang terjadi sekitar tahun 2000 di sebuah kota di pulau Jawa. Nama dan tempat disamarkan. Mohon bisa diambil pelajaran hidup dari kisah ini. 

 

——————————————————–

 

“ Assalamualaikum. “ aku mengucapkan salam setelah selesai melepas sepatu dan meletakkannya di rak. Mamah menjawab salamku. Mamah sudah rapi, mau pergi rupanya. 

“ Waalaikumsalam. Untung udah pulang. Mamah mau ke rumah Bu Utami. Mau ikut ? “

Aku mengangguk semangat. 

“ Mau. Ganti baju dulu bentar. “ aku cepat-cepat membersihkan diri. Ganti baju lalu segera ikut mamah pergi. 

Bu Utami bisa dibilang tetangga yang sudah seperti saudara bagi kami. Dari awal mamah dan papah pindah ke kota ini keluarga bu Utami banyak membantu mamah dan papah beradaptasi. Kakakku berkawan baik dengan anak lelakinya. Pun dengan aku yang berkawan baik dengan anak perempuan bu Utami, mbak Ratna. Makanya aku senang saat mamah mengajakku tadi. Meski kini rumah kami tidak bersebelahan lagi, karena mamah sudah pindah rumah, kami tetap sering saling berkunjung, karena memang sudah seperti saudara sendiri. 

“ Emang ada apa mah mau kerumah ibu ?” tanyaku saat di perjalanan, aku memanggil bu Utami dengan sebutan ibu dan pak Bambang suaminya dengan sebutan ayah. 

 “ Anaknya kan mau kawin, ibu mau syukuran, mamah mau bantu masak. “ jawab mamah. 

“ Anaknya yang mana? “tanyaku lagi. 

“ Yang kerja di Kalimantan. Rina. “

Dahiku mengernyit. Aku tidak ingat ibu punya anak namanya Rina. 

“ Emang ada mah yang namanya Rina? “ 

“ Ada. Kakaknya Ratna. Emang dari kecil tinggal sama neneknya, ibunya bu Utami. Terus udah gede langsung kerja di Kalimantan. Kemarin pulang terus tadi pagi ibu nyamper ke rumah minta dibantuin masak. “ 

Kami berbelok di sudut jalan. Setelah beberapa meter kami sampai ke rumah bu Utami. Tapi kata mamah kita lewat pintu belakang saja langsung menuju dapur. Benar saja sudah ada ibu dan mbak Ratna yang sedang sibuk memotong sayuran dan bahan makanan lain. Aku langsung duduk di samping mbak Ratna. Membantunya mengupas kentang sambil bercanda ini itu. Ibu dan mamah membersihkan dan memotong-motong ayam. Sambil tetap mengupas kentang aku bisa menguping pembicaraan mereka. 

“ Cuma bikin dikit aja mah. Buat tetangga sini. Bikin 40 porsi aja. “ ucap ibu. 

“ Rinanya mana? “ tanya mamah. 

“ Didepan sama suaminya. “

“ Kok ga ikut bantuin sih mbak? “ aku berbisik pada mbak Ratna. Ia mencibir sambil mengangkat bahu. Lalu kudengar ibu melanjutkan obrolannya sama mamah. Kuping ini masih tetap berjaga. 

“ Suaminya orang kaya mah. Jadi agak aleman. Maunya ditemenin terus. Kesini juga naik pesawat, turun di Surabaya,terus naik taksi kesini, habis 200 ribu. “ ibu bercerita lagi. Mamah manggut-manggut. 

“ Kerja apa suaminya ?”

“ Jadi bang Teguh ini supplier di pabrik kayu tempat Rina kerja. Dia pengusaha kayu. Ga sengaja ketemu eh terus cinta. Terus kawin deh. “

“ Loh ini sebenernya udah kawin apa baru mau kawin? “

“ Udah mah. Cuma karena ayah ga bisa hadir ya pake wali hakim. Nikah siri aja dulu. “

Bagian cerita selanjutnya aku tak mendengar, karena ibu berbisik di telinga mamah. Kulihat mamah mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. 

Tiba-tiba ada suara lembut masuk ke dapur. 

“ Bu. “

“ Eh Rina. Kenapa? “ sahut ibu. Kulihat dia cantik sekali. Kulitnya halus dan berwarna sawo matang. Garis mukanya mirip sekali dengan ibu dan mbak Ratna, dengan beberapa perbedaan. Wajahnya terlihat lebih kalem ketimbang mbak Ratna. 

“ Mau kopi lagi? “ kali ini mbak Ratna yang menyahut. Nada suaranya terdengar ketus. Ah, emang dia dasarnya judes sih, batinku geli. 

“ Engga, cuma bang Teguh pengen durian katanya.” kata mbak Rina sambil tersenyum malu. Ibu lalu menyuruh mbak Ratna beli ke pasar. Bisa kulihat mbak Ratna mengerjakannya dengan setengah hati.

Singkat cerita setelah semua acara syukuran selesai mbak Rina dan suaminya kembali lagi ke Kalimantan. 

Dan setelah beberapa bulan menikah suaminya memulangkan mbak Rina kembali ke kota ini. Namun dengan kondisi yang sungguh berbeda. Ia seperti orang yang terkena gangguan jiwa. Pandangannya kosong, tak pernah tersenyum dan tak pernah berbicara. Ia juga sering mengamuk di rumah dengan melempar barang-barang. Yang mengherankan yang bisa menenangkannya hanya dua orang. Tetangga depan rumah ibu dan mamah!

Aku jadi takut untuk main lagi ke rumah ibu. Kalau mamah masih tetap kesana seperti biasa.

 Mamah cerita kalau memang mbak Rina terkena gangguan jiwa dari sikapnya yang tidak normal. Mungkin disiksa sama suaminya, bisik mamah. Yang mengantar mbak Rina pulang dari Kalimantan juga ternyata orang bayaran suaminya itu. Ibu dan ayah tak bisa menghubungi suaminya lagi. Cerita lain dari mbak  Rina, dia seperti punya kekuatan ekstra, rumah ibu masih memakai air sumur yang ditimba waktu itu. Dan mbak Rina ini kuat sekali setiap nimba. Kalau belum diteriaki berhenti ya terus saja menimba. Yang paling sering ku dengar meneriakinya adalah mbak Ratna. Pernah sekali saat aku memberanikan diri ikut mamah main lagi ke rumah ibu, kudengar mbak Ratna suka sekali meneriakinya. 

“ Rina, itu loh air bak kosong. Nimba sana! “

“ Uda hei, kamu sinting ya bak udah penuh masih aja diisi. “

“ Ga usah kesini, di dapur aja sana. “

Ya, tempat mbak Rina di dapur. Dia makan dan tidur disana. Aku tidak berani bertanya pada ibu kenapa mbak Rina ditempatkan disitu. Ada rasa kasihan. Tapi aku selalu takut setiap kali mata kami tak sengaja bertemu. Pandangannya memang kosong seperti cerita mamah. Dan mukanya sudah tak secantik saat aku pertama kali bertemu dengannya dulu. Ekspresinya datar. Kulit sawo matangnya tampak kusam jika dibandingkan dulu. Jika sedang tak menimba atau makan ia hanya tidur-tiduran di sudut dapur. Beralaskan tikar dan satu bantal usang. 

 Yang mengherankan bila ia tiba-tiba mengamuk, Mbak Rina seperti kerasukan. Ia kuat mengangkat barang apapun untuk kemudian dilemparnya. Pernah ia mengangkat sofa ruang tamu milik ibu, padahal  postur tubuhnya kecil mungil. Dan yang bisa menenangkannya ya mamah sama pak Imam, tetangga depan rumah ibu. Entah apa yang mereka bisikkan ke telinga mbak Rina hingga akhirnya bisa tenang kembali. 

Dan yang paling mendebarkan adalah saat mamah mengajaknya main kerumah! 

“ Kasihan, biar ga suntuk. Disana dibentak mulu. “ ucap mamah. Aku memang kasihan tapi juga takut. 

“ Kalo tiba-tiba ngamuk gimana mah? “

“ Ga akan. “ ucap mamah yakin. 

Kulihat ia sedang duduk di kursi depan TV. Mengunyah keripik singkong yang dibawa mas Nurul kemarin. Toplesnya ia peluk. Aku mengurungkan niatku untuk meminta keripik itu. Takut. Aku lalu ikut menonton TV dengannya dan mamah. Kebetulan sebentar lagi jam tayang sinetron kesukaanku. 

Aku sengaja duduk dibawah. Agak jauh darinya yang duduk bersebelahan dengan mamah di kursi tamu. Kulirik keripik singkongnya sudah hampir habis. Aku mencolek mamah, lalu menunjuk toples keripik dengan ujung bibirku. Mamah mengerti kodeku lalu berkata lembut pada mbak Rina. 

“ Udah yah makannya. Nanti sakit loh perutnya kalo kebanyakan. Ini kan pedes. “ ucap mamah. Mbak Rina menggeleng. 

“ Masih mau. “ jawabnya datar. Aku merungut. Mas Nurul masih seminggu lagi pulang ke sini. Ia sedang mondok di Surabaya. Dan setiap pulang pasti membawakan keripik singkong kesukaanku. Aku tidak mau kalau sampai dihabiskan sama mbak Rina. Aku cemberut menatap mamah. Mamah menghela napas, mengerti kalau putri bungsunya sedang kesal. 

Mamah lalu berbisik padaku. 

“ Ya udah mamah panggil dulu pak Imam. Biar jemput mbak Rina pulang. “

Aku menggeleng cepat. Aku tidak mau kalau ditinggalkan berdua saja dengan mbak Rina. Papah sedang kerja di luar kota saat itu. 

“ Terus gimana? Dia ga mau berenti makan keripikmu. “ mamah balik bertanya. Aku jadi bingung sendiri. Akhirnya dengan berat hati aku mengangguk setuju. Mamah sengaja lewat pintu belakang dengan pura-pura berkata mau ke kamar mandi. 

Dengan perasaan yang tidak karuan aku tetap menonton TV bersamanya. Sesekali kulirik dia yang masih asyik mengunyah. Matanya menatap TV. Apa benar ya dia gangguan jiwa atau dia dikirimi sesuatu seperti gosip yang kudengar belakangan ini dari tetangga? aku membatin sendiri. 

Tepat jam 8 malam, aku beranjak mengambil remote di sebelah mbak Rina. Hendak mengganti ke saluran sinetron kesukaanku. 

“ Jangan diganti. “ tiba-tiba ia bersuara. Pelan namun tajam. Kepalanya menoleh lalu memandangku galak. Aku ketakutan. Mamah belum kembali. Rumah ibu sebenarnya tak jauh, kenapa mamah lama? Tega amat kalau mamah ngerumpi dulu sama ibu sementara aku tengah di situasi mencekam ini, batinku takut. 

Aku meletakkan kembali remotenya. Gelisah menunggu mamah, tapi juga greget karena episode sinetron malam ini sedang seru-serunya. Aku sudah kesal kehabisan keripikku masa harus kesal juga karena ketinggalan acara favoritku. 

Mamah akhirnya datang bersama pak Imam. Aku lega namun ternyata mbak Rina menolak pulang. 

“ Yuk, udah malem. Bapak temenin pulang. “ kata pak Imam lembut. Mbak Rina menggeleng. 

“ Ga mau. Mau disini. Dirumah dibentak aja sama Ratna. “ suaranya datar. 

Aku terenyuh. Dia bisa sakit hati juga rupanya. Aku menatap mamah mengusap lengannya lembut penuh sayang. 

“ Ratna kan emang suaranya gitu. Bukan ngebentak kamu. Nanti kapan-kapan bisa kok main kesini lagi. “ 

“ Yuk pulang, tarok toplesnya. Punya orang kok diabisin. “ pak Imam mengambil toples di pelukan mbak Rina. Isinya tinggal remahan saja. Mbak Rina menjilat ujung-ujung jarinya. 

“ Abis enak. Mau lagi mah. “

“ Iya nanti kalo ada lagi mamah bawain kerumah ya. “ janji mamah. Mudah-mudahan mas Nurul bawa banyak biar bisa bagi ke mbak Rina, gumamku dalam hati. 

Setelah beberapa saat dibujuk mbak Rina akhirnya mau ikut pulang bersama pak Imam. Mamah mengantar sampai gang depan rumah. Aku buru-buru memindahkan saluran TV, untung masih tayang. 

Mamah kembali lalu mengunci pintu. Kemudian menepuk bahuku, aku terkejut dibuatnya. 

“ Apa ?”

“ Kamu itu kalo mau kesel sama orang liat-liat dong. Mbak Rina itu kan ga normal. Mamah bawa dia kesini biar dia ganti suasana, jadi punya harapan sembuh. Baru juga sebentar disini, kamunya udah gitu. Masmu juga minggu depan pasti pulang bawain keripik buat kamu.“ ucap mamah membuatku merasa bersalah. 

“ Iya. “ aku menyahut pelan. Mataku masih menatap layar TV. 

“ Mamah baru tahu ternyata dia itu bukan disiksa suaminya. Tapi diguna-guna orang. “ ucapan mamah kali ini benar-benar membuatku sepenuhnya mengalihkan perhatianku. Cerita mamah lebih menarik ketimbang sinetron kesukaanku. 

 

———————————

 

” Diguna-guna mah? ” tanyaku. Jadi benar yang digosipkan tetangga. Mamah mengangguk. 

” Iya. Tadi pas nyusul pak Imam kan orangnya masih wiridan habis sholat Isya. Mamah ngobrol aja sama istrinya. Terus istrinya bilang, sebenernya mbak Ratna itu dapat kiriman ghaib. Ga tau dari siapa. Pak Imam mau bilang ke ibu ga tega. Cuma bisa bantu doa. ” jelas mamah lagi. 

Siapakah yang tega berbuat sedemikian keji sama mbak Rina? 

” Rina itu kan dari kecil sama nenek. Ga deket sama keluarganya. Makanya kalo lagi ngamuk gitu cuma mau dengerin pak Imam atau mamah. Karena mungkin ada ingatan baik soal kita di memori dia. Bisa gitu ya, mamah ga ngerti. ” ujar mamah. 

” Terus dia ga tinggal sama neneknya lagi mah? “

” Neneknya udah payah. Udah ga sanggup kalo harus ngurus dia dalam kondisi gitu. “

” Tapi tahu kondisinya mbak Rina?”

” Ya tahu. Sekampung sini juga tahu. Pada gosipin yang engga-engga. Mamah cuek aja lah. Pura-pura ga tau kalo pas ditanya orang. Kamu juga ya, jangan sampe ember kalo Rina dapet kiriman ghaib. ” mamah menunjuk hidungku. Tatapannya mengancam. Aku mengangguk. 

” Terus itu ibu sama ayah ga akan dikasih tahu mah? Biar diobatin gitu. ” aku berucap, merasa sedih juga pada mbak Rina.

” Pak Imam juga niatnya gitu. Cuma kadang orang kan beda pemikiran ya. Nah takutnya ibu sama ayah ga terima, mamah mau coba ngomong sih. Mudah-mudahan aja mau. ” 

Sudah hampir dua tahun kondisi mbak Rina belum ada perubahan. Ibu dan ayah juga pernah membawanya untuk berobat namun tak berhasil. Aku tak begitu tahu detailnya. Hanya beberapa kali aku tahu mereka pergi berobat. Setelahnya mamah tak pernah lagi bercerita tentang pengobatan mbak Rina. Aku mulai terbiasa dia main kerumah karena aku juga ingin dia sembuh. Meski rasa takut itu masih ada. Tapi sudah tak sebesar dulu. Pernah juga dia menginap dan dia tidur sama mamah. Aku benar-benar berdoa agar Allah memberikan dia keajaiban untuk bisa kembali normal. Kuasa Allah lebih besar dari kekuatan apapun di dunia ini. 

Aku sedang duduk di angkot hendak pulang setelah selesai mengerjakan tugas sekolah di rumah temanku. Tampak dua orang ibu-ibu mengobrol di depanku. Aku tak mengenal mereka, namun entah mengapa kuping ini tertarik dengan obrolan mereka.

” Eh tahu ga tadi pagi ada perempuan yang meninggal. Rumahnya di rw 1. Masih muda. ” 

” Oh iya. Anaknya pak Bambang kan? “

” Iya. Dia kan disiksa sama ibunya pas baru pulang jadi TKW di Malaysia. ” 

” Jahat ya. Disiksa sampe meninggal gitu. ” 

” Tadi juga ada yang ke pak rw biar diperiksa polisi itu orang tuanya. “

” Terus akhirnya gimana? “

” Ga tau. Kan akunya keburu pergi. Ini baru pulang. ” 

Deg! 

Nama pak Bambang memang banyak. Tapi kok aku merasa mereka sedang membicarakan orang yang kukenal. 

Tiba dirumah, aku mendapati mamah tengah menangis di ruang tengah. 

” Huhuhuhu….Rina udah ga ada. Huhuhuhu….” 

Aku melongo. Ternyata benar yang kudengar tadi. Aku memeluk mamah. Menenangkannya. Mengusap punggungnya. Membiarkannya menangis untuk meluapkan kesedihannya. Mamah memang sayang sama mbak Rina. 

” Innalillahiwainnailaihirojiun. Tenang mah. Mamah tahu dari siapa? “

” Tadi dari tukang sampah pas lewat sini. “

” Kesana yuk mah. ” 

Mamah mengangguk. Setelah selesai bersiap kamipun pergi. Saat sampai dirumah ibu, kulihat banyak orang didepan rumah mereka. Pak rw yang paling depan. Ternyata mereka sedang mengusut apa benar ibu dan ayah menyiksa anaknya. Padahal mbak Rina sudah dimakamkan.

Ayah tampak tenang meladeni mereka. 

” Saya ga pernah nyiksa anak saya. Tadi juga bisa diliat kan jenazahnya? Badannya ga ada yang biru. “

” Iya tapi kita sering denger teriakan dari rumah. ” ucap seorang ibu-ibu.

” Ya wajar dong kalo teriak kalo dia lagi ngelakuin yang berbahaya. ” ucap ayah lagi. Tanpa kuduga, mamah yang sedari tadi kugandeng tiba-tiba melangkah maju, berdiri di samping ayah dan berucap lantang.

” Sekarang orangnya udah ga ada, apa yang mau dipermasalahin? Kenapa ga dari pas denger teriakan aja buru-buru kesini. Tolongin kalo emang beneran disiksa sama orang tuanya. Kalo mau otopsi sekarang gih. Bayarin biayanya. ” mamah tampak marah. Napasnya tersengal-sengal. Namun yang mengherankan, tidak ada satupun warga yang berani menjawab ucapan mamah. Pak RW tersenyum kecut. Menyadari warganya hanya mencari kehebohan di tengah duka sebuah keluarga.

” Gimana? Mau diterusin ga tuntutannya?” ucap pak Rw. Lagi-lagi tak ada yang menjawab. Lalu satu per satu dari mereka beranjak pergi tanpa berpamitan.

” Mohon maaf yang sebesar-besarnya ya pak. Saya sebenernya tadi udah ngelarang. Karena ga ada bukti. Tapi merekanya maksa. ” ucap pak rw saat mereka semua sudah bubar. Ayah mengangguk. Raut mukanya lelah, malas menanggapi. Mamah mendelik pada pak rw.

” Kasih tahu warganya pak. Jangan cuma gosip aja bisanya. ” mamah lalu ngeloyor masuk ke dalam rumah ibu. Pak rw pamit pergi. Aku mengikuti mamah dan ayah masuk ke dalam rumah. Saat mamah berpelukan dengan ibu bisa kurasakan mereka benar-benar sedih karena kehilangan anak. Tangisan yang terdengar menyayat hati. Aku yang tak kuasa melihat mereka yang tengah berbagi pedih memilih berpindah ke dapur. Ada mbak Ratna disana. Duduk di tikar yang biasa ditempati mbak Rina. Matanya sembab. Aku memeluknya. Ia lalu terisak.

” Aku belum minta maaf sama dia. Aku banyak salah sama dia. Huhuhuhuhu….” aku mengusap punggungnya. Ingin kumaki dia mengapa dia berbuat begitu kalau tahu dia salah,namun aku tak bisa. Yang sudah terjadi tak bisa disesali.

” Kita cuma bisa doain dia mbak. Dia udah ga ngerasain sakit lagi sekarang.” tak terasa air mataku ikut menetes saat mengucapkan itu. Ya, mudah-mudahan mbak Rina ditempatkan di tempat yang baik oleh Allah Swt. 

Mas Nurul yang baru tahu berita meninggalnya mbak Rina seminggu yang lalu tampak tidak terkejut. Ia mengusap jenggot tipisnya pelan. 

” Sebenernya Rina itu bisa disembuhin. Tinggal mas usir aja makhluk yang di dadanya dia. ” 

Aku menatapnya serius. Nada suaranya terdengar tidak bercanda. 

” Makhluk apa mas? ” 

” Makhluk ghaib. Matanya merah. Bertanduk. Bawa tombak. ” 

” Kenapa ga kamu usir aja? ” sahut mamah ingin tahu. Mas Nurdin menggeleng. 

” Kalo dia pindah ke mamah atau ke Ika gimana? Kuat banget tauk makhluk itu. Aku merinding tiap kali liat Rina. Makhluk itu emang dikirim buat nyiksa dia pelan-pelan sampe dia meninggal. ” jawab mas Nurul kalem. Sambil mengunyah keripik singkong. Aku yang masih melongo bertanya lagi.

” Siapa sih yang ngirim mas?” 

” Istri pertama suaminya. ” jawaban mamah membuatku makin melongo.

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Scroll to Top