Nostalgia Rambut Pirang
Karya Annzhu
Di suatu sore yang cerah, Noni yang baru selesai mandi tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Berdiri di teras, bersama mamahnya yang sedang membaca buku di kursi goyang kesayangan mamah. Papah menyiram tanaman koleksi mamah sambil sesekali bersenandung lagu lawas. Rumah mungil yang bercat ungu itu memiliki halaman yang juga mungil.
” Yang punya tanaman siapa, yang nyiram siapa.” celetuk papah tiba-tiba, menyindir mamah. Mamah hanya terkekeh.
” Hehehehe. Bantu mamah sekali-kali. ”
” Oke sayang. Aku selalu ada untukmu.” celotehan papah membuat Noni tergelak. Interaksi mamah dan papah tak pernah membosankan bagi noni. Noni lalu duduk di tepi teras, menapakkan telapak kakinya yang telanjang ke rumput yang basah. Mengais sinar matahari yang bersiap-siap hendak tenggelam satu setengah jam lagi.
” Rambut kamu udah panjang lagi aja Non. ” ucap mamah memandang Noni yang membelakanginya. Noni mengangguk tanpa menoleh.
” Iya mah. Aku mau potong lagi ya. ” ujar Noni. Mamah mengiyakan.
” Terserah kamu. Toh, kamu pakai kerudung kan kalo keluar rumah. Ga keliatan panjang atau pendek. “
” Tapi rambut kamu bagusan panjang Non. Kayak boneka.” timpal papah masih menyiram tanaman. Noni tersenyum. Rambutnya memang berwarna coklat keemasan. Seperti rambut orang Belanda. Ya, dari gen nenek yang memang asli orang Belanda, penampilan Noni memang bak seorang Noni Belanda. Panggilan Noni pun diberikan padanya walaupun nama aslinya bukan itu.
” Dulu seingatku rambutku kayaknya putih mah.”
” Bukan putih, tapi pirang. Kayak Barbie. Bagus deh. Banyak yang suka.” ucap mamah.
” Masa? ” Noni tak percaya. Namun papah yang menyahut.
” Bener Non. Banyak yang pengen gendong kamu dulu. Rebutan. Dibawa main sana sini. ”
Noni mengangkat alis.
” Udah kayak mainan aja.” ucapnya sinis. Papah tertawa.
” Emang iya kayak mainan. Nih ada cerita lucu. Dulu waktu papah gendong kamu, abis dari mana ya? Ah lupa,pokoknya papah lagi jalan gendong kamu. Nah muka kamu itu kan ngeliat ke belakang. Terus ada tukang susu yang lewat sambil ngeliatin papah. Papah santai aja nerusin jalan loh kok terus tiba-tiba kedenger breeng breeng prang gitu. “
” Apaan pah? “
” Itu si tukang susu nabrak tiang listrik. Pas ditanya warga kenapa. Dia bilang tadinya dia nyangka papah orang gila, tua-tua bawa boneka. Eh, kepala kamu terus muter gitu. Kaget dia ampe oleng nabrak tiang listrik. Bonekanya kok hidup, kata dia. Hahahahahaha…” papah terbahak. Noni yang baru mendengar cerita ini ikut terbahak bersama papah.
” Ada-ada aja sih orang mikirnya. ” ujar Noni masih geli.
” Eh masih mending kamu dikira boneka. Kan pernah waktu itu kamu dikira hantu. ” lanjut papah lagi.
” Kapan? “
” Waktu papah disuruh jaga rumah om Hasim yang di Jakarta. Kita kan sekalian liburan disana seminggu. “
” Yang rumahnya gede itu loh Non. Rumah depan sama belakang misah. Nah kan ada kebun yang lumayan luas di tengah-tengah. Kita nginap di rumah belakang. Yang depan kan dijaga sama mas Aryo. Satpamnya om Hasim. ” timpal Mamah, Noni masih berusaha mengingat.
” Oh iya. Yang aku pertama nyoba sepeda roda tiga yah mah?”
” Iya. “
” Terus ceritanya gimana pah? “
Papah mematikan kran air, menggulung selang lalu duduk di samping Noni.
” Waktu itu papah suruh kamu ambil air panas di rumah depan. Karena gas habis. Tapi udah jam 8 malem. Tapi papah pengen ngopi. Kamu jalan bawa termos ke rumah depan, ngelewatin kebun yang banyak pohon-pohon tinggi itu tapi rambut kamu ga diiket. Aryo yang liat kamu dari jauh langsung jantungan dia. Apalagi pas kamu ngedeket. Makin jantungan. ”
Noni terpingkal-pingkal. Mamah ikut tertawa, kenangan itu masih terdengar lucu meski sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
” Terus terus pah. ” Noni meminta papah melanjutkan ceritanya.
” Iya terus dia komat kamit baca istighfar. Eh pas kamu sampe trus nyeletuk, mas kata papah minta air panas. Baru deh dia sadar kamu anak papah. ” papah ikut tertawa bersama Noni yang kembali tergelak.
” Noni ga inget sama sekali. ” Noni meringis.
” Iya ga akan inget. Itu waktu kamu umur 7 tahun. ” sahut mamah.
” Aryo baru cerita besok paginya sama papah. Itu papah bener-bener ngakak. Bisa-bisanya dia ga liat itu kamu. ”
” Dianya udah takut duluan kali sendirian dirumah gede itu. Makanya jadi mikir yang engga-engga. ” ujar Noni. Mengenang masa lalu sambil menikmati langit sore sungguh hal yang amat menyenangkan.
” Ada lagi Non yang lucu.” ujar Mamah setelah beberapa saat hening.
” Waktu lahiran kamu. Mamah kan udah ngeden nih. Udah berasa sama mamah kamu udah mau keluar. Tapi si susternya bilang, belum bu. Mamah yang berasa kepala kamu udah mau keluar teriak ke bidan. Pas bidan nyamper, diomelin lah itu suster. Itu kepala bayinya udah keliatan kok bilang belum-belum aja. Loh itu kepala, saya kira bulu ibunya. Gitu kata susternya Non. ”
Mereka bertiga kembali tergelak. Noni sampai memegang perut karena terlalu geli.
” Jadi rambut Noni dikira bulu mamah?” Noni memastikan. Mamah mengangguk masih tertawa. Noni terkekeh lagi.
” Untung kamu ga keluar sendiri. ” timpal papah.
” Untung juga si suster ga dipecat. ” kata Mamah masih geli.
Namun, raut muka papah berubah sendu saat beliau berucap.
” Lahiran kamu itu macem-macem rasanya Non. Seneng karena apa yang diharapkan nenek terwujud. Cucu yang mewarisi darahnya. Tapi juga sedih. ”
” Kenapa pah? ” Noni penasaran. Papah tersenyum tipis sebelum melanjutkan.
” Iya kondisi keuangan papah lagi ga bagus waktu kamu lahir. Papah bayar biaya lahiran kamu aja pakai jual jam tangan dulu. Baru bisa bawa kamu pulang. Tapi yang paling nyakitin waktu ada yang datengin papah bawa motor, minta dituker sama kamu. Papah siram air aja dia. Sakit hati papah, dikira orang ga bisa ngerawat kamu. ” papah memandang jauh ke langit senja yang memerah. Noni menggamit tangannya dan mencium takzim.
” Udah berlalu pah. Ga usah sedih lagi. ” ucap Noni menghibur papah. Mamah yang sudah ikut duduk di tepi teras bersama mereka ikut menggenggam tangan papah.
” Rambut Noni banyak kenangannya yah pah. ” papah mengangguk setuju. Lalu membelai rambut putri bungsunya itu.
