Cerpen Ibuku Vampir
” Memangnya kamu tahu vampir itu apa? ” Ayah balik bertanya padaku. Aku terdiam sejenak sebelum menjawab.
” Yang suka minum darah. ” jawabku akhirnya. Aku sedang mengutarakan rasa penasaranku pada ayah. Aku merasa kalau ibu adalah seorang vampir. Dari tingkah laku ibu yang tak lazim.
” Loh terus memang ibumu suka minum darah? ” Ayah bertanya lagi. Masih teringat jelas di mataku bagaimana raut muka ibu saat memasukkan ibu jari Reni, adikku ke dalam mulutnya. Entah bagaimana Reni bisa terluka saat bermain, darah yang mengucur dari ibu jarinya seperti dinikmati oleh ibuku. Netranya terbuka menutup sambil tangan kirinya mengusap-usap kepala Reni. Setelah beberapa saat, Reni berhenti menangis lalu ibu mengeluarkan jari Reni. Pemandangan itu terlihat agak tidak wajar untukku.
” Masa karena itu kamu bisa mikir ibumu vampir. Hahahaha…” Ayah terbahak. Namun aku hanya diam. Kecurigaanku masih terlalu kuat.
” Tapi yah, ibu juga ga suka makan bawang putih. Trus ibu juga ga mau kena sinar matahari. Sering pakai payung kalo keluar rumah. ”
” Lah kenapa kalo ibu kayak gitu ?”
” Itu semua ciri-ciri vampir yah. ” aku bersikeras.
” Kamu tahu dari mana?”
” Internet. ” jawabku pendek. Ayah menggelengkan kepalanya yang sudah memutih. Lalu menepuk pelan bahuku.
” Akbar, sudah cukup. Kalo ibumu tahu kamu punya pikiran kayak gitu, dia pasti nangis. Jangan aneh-aneh lah. Pakai internet buat yang lebih bermanfaat. ” ucap Ayah lagi. Aku terdiam, dan mengangguk pelan. Ayah lalu melenggang pergi, menuju bengkel motornya di samping rumah. Aku masih mematung di dapur. Mengurungkan niatku untuk minum. Ucapan ayah benar, bagaimana perasaan ibu jika tahu aku berpikir kalau ibu adalah vampir. Namun, entah mengapa, rasa ingin tahuku amat besar. Bagaimana caranya untuk memastikan keraguanku?
*****
” Nak, ayo makan. ” ibu berkata lembut padaku yang sedang mengerjakan tugas sekolah di kamar. Aku menatapnya dan mengangguk perlahan tanpa sepatah katapun. Lalu mengekori ibu berjalan ke ruang makan. Sudah ada ayah dan Reni yang mulai makan.
” Ibu masak ayam goreng sama cah kangkung kesukaan Akbar. ” ucap Ibu ceria. Aku mengangguk lagi. Sepertinya ayah tidak bercerita tentang pertanyaan bodohku tadi siang. Aku mencoba melirik ayah, namun beliau masih asyik mengunyah sambil sesekali bergurau dengan Reni.
Ibu menyorongkan piring padaku yang sudah terisi penuh nasi dan lauk pauk. Kemudian beliau mulai makan dari piringnya sendiri.
” Bu, coba makan bawang putihnya deh. ” tiba-tiba ayah bersuara. Aku melihat ayah melirik padaku sambil mengedipkan mata. Aku jadi salah tingkah, namun menunggu reaksi ibu.
” Ayah kan tahu ibu ga suka bawang putih. ” Ibu menolak sambil tetap mengunyah ayam gorengnya. Aku memandang ayah dan ibu bergantian. Tanganku masih di atas nasi tanpa menyentuhnya.
” Ayo coba dulu ini. ” ayah mengambil seiris bawang putih dari mangkok yang berisi cah kangkung lalu meletakkannya di piring ibu. Ibu menatap ayah tajam seperti menahan marah.
” Ayah tahu kan kalo ibu makan bawang akan gimana? ” tanya ibu terdengar geram. Aku menunduk, pura-pura makan. Namun aku masih mengikuti pembicaraan ayah dan ibu.
” Iya. ” suara ayah terdengar santai. Aku mencoba mengangkat kepalaku dan terlihat ibu memakan irisan bawang putih itu dan mengunyahnya sambil menatap marah pada ayah. Jantungku mencelos. Namun, yang terjadi kemudian, membuat bulu kudukku merinding ketakutan.
” Hooeekkk…” ibu memuntahkan semua makanan yang sudah ditelannya tadi ke lantai. Napasnya terengah. Wajahnya pucat. Reni terperanjat melihat ibu tiba-tiba muntah. Lalu menepuk pelan punggung ibu, memberinya air minum. Ayah yang sepertinya sudah menerka reaksi ibu dengan sigap menyambar kain lap di dapur dan membersihkan muntahan ibu. Aku hanya mematung melihat semua kejadian ini. Tak bergeming. Kulihat ayah tersenyum kecil padaku saat mengantar ibu masuk ke kamar.
***
Mentari teramat terik hari ini. Awan tak menampakkan dirinya di langit yang terlihat biru. Aku duduk di teras sembari mencoba mengais angin yang malas datang. Kusesap jus jeruk yang kubuat sendiri. Membasahi tenggorokan yang terasa kering. Reni tengah pulas di sampingku usai lelah bermain dengan Anggi, kawan sebayanya dari rumah sebelah. Ayah masih berkutat dengan motor konsumennya.
Aku tersentak saat kulihat ibu dari kejauhan menenteng tas belanjaannya. Kenapa ibu tak memakai payung, batinku heran. Padahal sedang panas begini. Tak biasanya. Apa ayah menceritakan tentang pertanyaanku kemarin ya, gumamku dalam hati. Terbetik rasa bersalah dalam relungku. Kembali kulihat ibu yang hampir sampai, ibu melangkah lebih cepat. Aku dengan sigap mengambil belanjaan ibu. Meletakkan di ruang tamu dan bergegas mengambilkan jus jeruk dingin dan memberikannya pada ibu.
” Makasih, Bar. ” ucap ibu setelah menyesap habis jus jeruk buatanku. Aku tersenyum senang. Kemudian duduk disamping ibu yang sedang mengelap peluh dengan ujung bajunya. Kupandangi wajah lelah ibu. Tampak lebih merah dari biasanya. Dan terlihat banyak bintik-bintik bermunculan. Aku mengerutkan alis. Wajah ibu tadi pagi masih mulus seingatku.
” Kenapa Bar? ” tanya ibu menyadari aku sedang menelisik wajahnya. Aku tersenyum sambil menggamit tangan ibu. Ada terselip rasa bersalah di hati karena sempat mempunyai pikiran konyol tentang ibu.
” Wajah ibu bintik-bintik karena kepanasan ya? ” tanyaku malu. Ibu mengangguk.
” Kulit ibu agak sensitif, Bar. Kalo kena matahari ya langsung bintik merah gini. Kayak beruntusan. ” jelas Ibu membuatku merasa bersalah. Aku mencium tangannya takzim. Mencoba menahan buliran bening yang menyesak ingin keluar dari sudut netraku. Ibu menatap heran, namun hanya mengelus kepalaku.
” Kenapa ibu ga pakai payung tadi? ” tanyaku sambil menahan tangis.
” Ibu buru-buru. Takut Reni tahu ibu mau pergi, dia kan lagi main sama Anggi tadi. Ibu capek kalo bawa Reni, kadang suka minta gendong. Hehehe…” ibu terkikik sendiri. Matanya beralih menatap Reni yang masih terlelap dengan penuh kasih. Ah ibu, kenapa pula aku ini bisa berpikir ibu adalah vampir?
Ibu lalu masuk ke dalam rumah meninggalkan aku yang masih termenung. Aku mengambil ponsel dan mulai mencari tahu krim apa yang tepat untuk menyembuhkan bintik di wajah ibu . Setelah menemukan apa yang kucari, bergegas aku pergi ke apotek dengan mengendarai sepeda motor milik bapak. Aku ingin menebus rasa bersalahku padamu, bu.
Sengaja aku mematikan motor sebelum sampai rumah karena jika Reni tahu aku pergi pakai sepeda motor tanpa mengajaknya, dia akan merajuk sepanjang hari. Pelan-pelan aku masuk rumah dan mengendap membelakangi Reni yang tengah menonton televisi. Sudah bangun rupanya.
Sayup-sayup kudengar ayah dan ibu tengah berbincang dikamar mereka. Kuurungkan niatku untuk mengetuk saat tiba-tiba namaku disebut.
” Akbar udah ga curiga kan pak? “
” Udah kayaknya. Dia tadi bapak lihat pergi pake motor, ga tau kemana. “ sahut bapak.
“ Kerumah Hadi mungkin pak. Untung aku kemarin langsung minta obat penawar sama Mbah Tono pas bapak cerita soal Akbar. Jadi bisa akting makan bawang sama kena matahari dulu sebentar. Biar Akbar ga curiga lagi sama aku. “
Suara ibu terdengar lega…
Aku gemetar menahan diri.
“ Kamu sih. Keliatan banget. Kenapa coba harus sedot darah Reni, selama ini kan kamu udah terbiasa sama darah ayam. “
“ Baunya enak pak. Aku ga tahan. “ ibu terkikik. Plastik berisi krim muka untuk ibu yang kugenggam erat sedari tadi terhempas begitu saja. Aku melongo. Bahkan saat Reni menghampiriku sembari menangis dan mengacungkan telunjuknya yang berdarah, aku masih terpaku di tempatku. Dan gelenyar aneh kurasakan memenuhi raga ini, ketika bibirku mengatup menyesap darah Reni yang mengucur, menikmati setiap tetesnya. Dari sudut mataku, tampak senyum lebar mengembang dari bibir ibuku.