Search
Close this search box.

Gurihnya Lidah 

Gurihnya Lidah 

Karya : AnnZhu

Namaku Mela. Aku tinggal dengan ibu dan ayahku. Aku punya seorang kakak perempuan. Namanya Fitri. Ia sudah menikah dan mempunyai 3 orang anak. Sebenarnya 5, karena suaminya sudah punya dua orang anak dari istri pertamanya. Mereka bercerai, entah apa sebabnya. Aku tak tahu dan tidak mau tahu. Aku jarang main ke rumah kak Fitri. Karena sibuk mencari pekerjaan seusai lulus sekolah. Dan karena jarak rumah kami yang jauh, bisa satu setengah jam jika naik motor. 

Sore itu sengaja aku main ke rumah kak Fitri, dan aku melihat dua anak tiri kak Fitri sedang  asyik menonton TV di ruang depan. Aku mengucapkan salam.

‘ Assalamualaikum. “ ucapku.

“ Waalaikumsalam. “ jawab mereka kompak. Lalu mencium tanganku. 

“ Bunda mana? “ mereka menunjuk ke arah dapur.

Kak Fitri tengah sibuk memandikan ketiga anaknya. Ia tampak senang aku datang. Aku membantunya sampai selesai. Tak lama salah satu anak tirinya menghampiri. Namanya Lia. 

“ Bun, mau goput ayam geprek. “ ujar Lia.

“ Bunda kan masak kangkung sama tempe. Ga usah goput. “ jawab kak Fitri sambil menyisir rambut Kina. Lia menggeleng. 

‘ Ga mau, maunya ayam geprek ‘ 

Kak Fitri menghela napas. 

“ Ya udah minta uang sama ayah sana. “ Lia tersenyum senang lalu menghampiri ayahya yang ternyata ada di dalam kamar. Lalu bisa kulihat ia dan adiknya memesan makanan. 

“ Gitulah kalo lagi ada disini. Pesen makanan mulu. Jarang mau makan masakan bundanya. “ ujar kak Fitri seakan tahu apa yang ada di pikiranku. 

“ Tapi emang kakak ada uang terus tiap hari? “ tanyaku. Aku tahu kondisi keuangannya. Dari cerita ibu. Kak Rian suaminya, masih jadi karyawan kontrak di sebuah perusahaan sebagai mekanik.

‘ Yah pinter-pinter kakak aja lah. Daripada dibilang ibu tiri kejam, ga sayang sama anak sambungnya. “ ucap kak Fitri enteng. 

Kami melanjutkan obrolan di teras, sambil memandangi anak-anak bermain. Kedua ABG itu masih di ruang tamu, menunggu makanan datang. 

“ Sampai kapan mereka disini? ‘ tanyaku. 

“ Terserah mereka lah. Ini kan rumah mereka. “ jawab kak Fitri lagi, masih dengan nada tak acuh. 

“ Itu tiap hari pasti nge goput? “ aku bertanya lagi, ingin memastikan. Kak Fitri mengangguk. 

“ Ya gitu. Kalo masakan bundanya ga pas buat mereka ya pasti beli.”

“ Ga pas itu yang kayak gimana? “ 

“ Ya kalo bukan ayam kecap, sop daging atau sejenisnya lah. “

” Buseett deh. ” aku menepuk jidat. Dipikir nyari uang gampang kali ya, makan kudu enak mulu tiap hari, batinku kesal. 

” Biasa makan enak sama mamanya tiap hari jadi ya gitu kalo disini. Harus sama. Ga mau ngerti ayahnya lagi punya uang atau engga. ” 

Aku bisa melihat ada tersirat kesedihan di raut wajah kak Fitri. 

Suara motor dari pengendara berjaket hijau berhenti di depan pagar. Ria, adik Lia keluar, mengulurkan uang menerima makanannya dan masuk lagi ke dalam. 

Kok bisa-bisanya ga nawarin yah? gumamku dalam hati. 

Lalu Alif, anak pertama kak Fitri datang menghampiri bundanya. 

” Bun, mau ayam kayak kakak. ” pintanya membuatku sedikit sedih. Aku tak punya cukup uang di saku untuk membelikannya ayam.

” Itu mah pedes. Nanti kalo bunda ada uang lagi kita masak ayam ya, Sekarang makan sama kangkung sama tempe yang tadi bunda masak aja ya. “ bujuk kak Fitri lembut. Alif mengangguk patuh. 

“ Iya bunda. “ Alif lalu masuk ke dalam rumah. Aku dan kak Fitri hendak masuk rumah juga saat sebuah celetukan menghentikan langkah kami. 

“ Tiap hari goput mulu. Kayak banyak duit aja. “ sebuah suara terdengar dari sebelah. Rumah bibi kak Rian. Seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu halaman rumah itulah ternyata yang bersuara barusan. Bi Tuti, bibi kak Rian. Ia mengucapkan kalimat itu tanpa menoleh memandang kak Fitri dan aku yang sudah jelas pasti mendengarnya

Aku melongo, hey hey. Itu ngomong pake dipikir dulu ga ya. Mulutku sudah bersiap membalas sindirannya namun kak Fitri menarik badanku buru-buru masuk ke dalam rumah. Dia membawaku ke dalam kamar lalu berbisik padaku. 

“ Udah biarin aja. Ga usah digubris. “

“ Biarin gimana sih kak? “ aku greget sama kak Fitri. Ia menggeleng. Bisa kupahami kak Fitri tak ingin ada keributan. Ia memilih pura-pura tak mendengar cemoohan itu. Aku yang tak tega jika kakakku bersedih memilih menuruti perkatannya. 

“ Nda. Itu ada yang nyari. “ ucap Ria. Kak Fitri mengintip dari pintu kamar. Tampak seorang pria berbaju rapi membawa tas selempang sedang berdiri di depan pintu masuk. Kak Fitri berbisik lagi padaku. 

“ Ada uang sepuluh ribu ga? Pinjem dulu. “ tanyanya. Aku mengangguk lalu menyerahkan uang sepuluh ribuan dari sakuku padanya. Uang sepuluh ribu itu beralih ke pria tadi yang kemudian pamit pergi. Sepertinya ini adalah cara kak Fitri mencari tambahan untuk uang belanjanya selama anak tirinya ada disini. Meminjam ke koperasi harian.

Aku menyusul kak Fitri duduk di ruang tamu. Ikut menonton TV. Anak-anaknya sedang makan sambil menonton kartun. Kedua ABG tadi pindah ke kamar belakang, bermain ponsel sambil makan pasti, aku menduga dalam hati. 

Suara bi Tuti kembali terdengar dari rumah sebelah. 

“ Ga punya uang ya ga usah beli-beli makanan lah. Jadi utang sana sini kan. Kebanyakan gaya sih hidupnya. Masak makanya. “ 

Aku mendelik pada kak Fitri. Ia menggeleng lagi. Aku menghela napas dalam-dalam. Menahan kesal yang luar biasa di dada. Kak Fitri kembali menatap TV, seolah- olah tak mendengar apa-apa. Kak Rian yang sedari tadi di kamar muncul ke ruang tamu. 

“ Sabar ya nda. “ ucapnya lembut sambil mengelus pundak istrinya. Kukira ia tak tahu. Kak Fitri tersenyum kecil sambil mengangguk. 

“ Aku  ga tau ada yang mulut nya kayak gitu. “ aku menatap kak Rian sinis. Ia menjawab ucapanku sambil tersenyum 

“ Emang sifat orangnya gitu. Ga ke kak Fitri doang kok. “

Aku mendengus tak percaya.

‘ Kamu udah keterima kerja? “ kak Fitri mengalihkan pembicaraan. Aku menggeleng. 

‘ Belum. Doain kak. Biar bisa kasih uang jajan ke anak-anak kakak. “ pintaku sungguh-sungguh. Ia mengangguk tulus. Kemudian kami mengobrol kesana kemari, sampai ke sebuah cerita yang membuat dahiku mengernyit.

” Kemaren itu waktu kak Rian ga ada kerjaan keluarga sebelah suka bantu-bantu. Walaupun agak ga enak omongannya, kakak telen aja lah. Tahu diri udah dibantuin. ” 

” Ga ada kerjaan gimana?”

” Iya namanya juga karyawan kontrak. Kalo lagi sepi ya dirumahin dulu. Kalo ga ada panggilan buat benerin barang ya ga ada kerjaan berarti. Bi Tuti berapa kali beliin bahan makanan sama gas. ” jelas kak Fitri.

” Tapi kok ibu ga pernah cerita kak kalo kak Rian sempet ga kerja?”

” Ya karena kakak ga pernah bilang. Kamu juga ga usah bilang. Bilang aja kakak disini baik-baik. Ibu dan ayah ga harus tahu kesusahan kakak. Biar tenang mereka. ” ucapan kak Fitri membuat aku ingin menangis. Dulu dia sering sekali membuatku menangis saat kecil, namun kini rasanya beda. Dia dulu galak sekali kalau ada yang mengganggunya, sekarang kenapa dia memilih diam aja ya?

” Kakak juga kemaren sempet bantu-bantu mbak Ani, tetangga di ujung gang situ. Dia kan jualan makanan buat sarapan. Kakak bantu aja sebisa kakak. Entah nyuci peralatan, atau ngelap daun buat lontong. Lumayan mbak Ani suka ngasih buat jajan Alif, Indra sama Kina. Tapi sekarang udah engga. ” 

” Kenapa? ” tanyaku.

” Mamanya mbak Ani tiba-tiba nyeletuk. Kalo ada kakak katanya bantuin apa aja harus ngasih. Padahal kalo emang lagi ga ngasih, kakak juga ga masalah. Mbak Ani juga tahu kakak ga pernah minta bayaran. Cuma kan kalo ada sisa jualan anak-anak boleh ngabisin. Segitu juga kakak udah bersyukur. Eh mamahnya ngomong gitu. Ya udah kakak jadi ga kesana lagi. ” 

Aku menatapnya kasihan. Banyak sih manusia kayak gini. Selalu buruk sangka ma orang. 

” Tapi kemaren masa anaknya mbak Ani cerita ke kakak kalo neneknya bilang gini ‘ Kasih tau itu ke Fitri kalo belum minta maaf sama nenek ga usah nginjak rumah ini lagi’  Lucu tau. ” kak Fitri terkekeh. Aku yang tidak tahu bagian lucunya dimana menatapnya miris. Kok bisa sih kak hidup sama orang-orang macam ini?

” Emang anaknya mbak Ani suka main kesini? ” 

” Iya. Main sama Kina. ” jawab kak Fitri pendek. 

” Trus kenapa dia bilang kakak harus minta maaf? ” Kak Fitri mengangkat bahu.

” Ya ga tahu. Tapi sekarang kakak sering bantuin mamah Oki masak Mel. Yang punya katering di gang depan. Walaupun ga tiap hari tapi lumayan lah. Buat nyicil si abang tadi. ” kak Fitri tersenyum kecil. Aku ikut tersenyum. Ah, aku ingat masih ada sedikit uang sisa tadi pagi ongkos melamar kerja. Aku ajak anak-anak kak Fitri ke warung ah. 

Setelah selesai jajan, keponakanku tampak senang sekali. Anak-anak baik, batinku. Lalu kami pulang. Saat di perjalanan ada seorang wanita yang sama tuanya dengan bi Tuti tadi menepuk kecil pundak kak Fitri.

” Fitri ih, ga pernah main kerumah lagi. Lagi sibuk yah bantuin mamah Oki jadi ga pernah kesini lagi bantuin Ani. ” ternyata wanita ini adalah mamah mbak Ani. Kak Fitri hanya tersenyum dan menanggapinya sebentar.

” Iya nanti yah mah. ” sahutnya sambil menarik tanganku. Aku sudah menyiapkan berbagai kata-kata kasar. Namun kak Fitri berhasil mencegahku. 

Sampai di rumah aku makin kesal melihat kak Fitri yang malah terkikik dengan kejadian barusan. 

” Udah biarin. Anggep hiburan. ” ujarnya. Aku mendengus sebal padanya. Kak Rian menghampiriku. 

” Pinjem motor bentar. Mau beli gas.” 

Aku menyerahkan kunci motor padanya. Aku baru menghenyakkan diri di sofa saat suara bi Tuti kembali terdengar.

” Gas cepet banget abisnya. Padahal baru 5 bulan yang lalu beli. Dipake buat apa sih. ” 

Aku menatap kak Fitri yang kembali tertawa. Namun kali ini aku ikut tertawa. Tak lagi kesal seperti tadi. Hiburan di sekitar rumah kak Fitri memang luar biasa. Aku lalu membawa mainan robot milik Indra kedepan dan melemparnya, tepat mengenai wajah bi Tuti. 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Scroll to Top