Potongan Celana Bapak
Karya Annzhu
Bapakku, Amin namanya. Usianya sudah lebih dari setengah abad. Tetapi, bapak masih bekerja sebagai supir pribadi untuk pak Nathan. Seorang keturunan Korea yang mempunyai tubuh tinggi menjulang. Bapak belum berhenti bekerja karena masih harus menghidupi aku dan ibuku. Aku masih duduk di bangku kelas 3 SMK. Ya, bapak dan ibu memang harus menunggu lama untuk mendapatkan keturunan. Di usia perkawinan yang ke 12 ibu baru dinyatakan hamil. Aku lahir saat bapak dan ibu sudah menginjak usia 35 tahun. Dan menjadi satu-satunya anak mereka.
Ibu juga masih mencari tambahan penghasilan dari menjahit. Keuangan keluarga kami memang pas-pasan. Bapak dan ibu pernah mencoba berbagai usaha, namun gagal. Pernah juga ditipu orang. Ludes semua tabungan mereka. Namun, bapak dan ibu bersyukur masih memiliki rumah peninggalan nenek untuk tempat kami berteduh. Dengan berbekal kemampuannya menyetir bapak akhirnya dapat pekerjaan dari pak Nathan.
Yang selalu kuperhatikan, pak Nathan sering memberikan bapak baju atau celana yang sudah tidak dia pakai. Kata bapak setiap dia habis mengantar belanja pak Nathan, beliau pasti mendapatkan sehelai atau dua helai baju dan celana yang dikeluarkan pak Nathan dari lemarinya. Walaupun barang bekas, namun masih layak pakai. Dan karena postur tubuh mereka yang berbeda, ibu harus memotong sekitar 10 senti untuk setiap celana yang bapak dapat dari pak Nathan.
Seperti malam ini, ibu sedang memotong celana yang baru bapak bawa pulang. Warnanya bagus, biru pastel.
” Bagus ya bu warnanya. ” ucapku. Ibu mengangguk setuju. Bapak sedang menyesap kopi tak jauh dari kami.
” Bajunya pak Nathan ga ada yang ga bagus May. ” sahut bapak.
” Alhamdulillah, karena sering dapat baju dan celana yang bagus-bagus bapak jadi ga perlu beli baju baru. Tinggal potong sama ibu, bisa deh bapak pakai. ” sambung bapak.
Entah mengapa, ada terselip sedih di hati ini. Aku ingin cepat lulus, mencari pekerjaan dan membelikan bapak baju dan celana dari uang yang aku hasilkan.
” Bentar lagi Maya lulus pak. Maya langsung cari kerja. Gajian pertama Maya buat beli baju dan celana bapak sama ibu. ” ucapku yakin.
Bapak dan ibu mengaminkan doaku.
” Kamu kan jurusannya tata busana. Sama kayak apa yang ibu lakukan sekarang. Kamu buka usaha sendiri juga bisa. Ga perlu kerja. ” ujar bapak. Aku menggeleng.
” Usaha perlu modal pak. Mungkin aku harus kerja dulu, ngumpulin modal baru buka usaha sendiri. Doakan ya pak bu. ” pintaku. Bapak dan ibu menatapku penuh kasih. Mengaminkan lagi doaku.
Dan dari setiap potongan celana bapak, ibu menyulapnya menjadi rok panjang untukku. Ibu pandai berkreasi dengan sisa potongan celana bapak. Bagus memang, hanya saja aku kurang nyaman memakai rok. Jadi aku hanya menyimpannya di lemari, belum pernah kupakai sekalipun. Ini bisa menjadi ide koleksiku jika suatu saat nanti aku benar-benar menjadi perancang busana sungguhan.
***
” May, tugas dari bu Ana udah beres? ” tanya Sekar, kawan karibku. Aku mengangguk. Kami mendapat tugas membuat rok panjang dari bu Ana. Dengan meminjam mesin jahit milik ibu aku sudah menyelesaikannya kemarin. Kemampuan menjahitku memang belum selincah ibu. Tapi di tahun terakhir studiku aku sudah harus bisa menjahit macam-macam.
” Kata bu Ana, besok harus dipake roknya.” ucapan Sekar mengejutkanku. Aku tak ingat bu Ana mengharuskan kami memakainya.
” Emang iya?”
” Iya. Pasti lupa deh. Bu Ana bilang, roknya dipakai besok pas tugas replika fashion show di kelasnya pak Haris. ”
” Jadi tugas ini buat dua nilai? ” aku bertanya lagi. Sekar mengangguk sambil menyeruput es teh manis.
” Iya. Nilai rancangan baju sama nilai peragaan. ”
Aku manggut-manggut.
” Tapi gue kan ga biasa pake rok. ”
” Lah tinggal pakai aja. ” Sekar menjawab enteng.
” Gue nih yang lagi bingung. ” sambungnya. Aku menatap ingin tahu.
” Kenapa? “
” Gue ga pede. Rok gue biasa banget. Cuma rok panjang motif bunga warna ungu gitu. Pasti dapet nilai C deh. ”
Sekar dan aku memang agak kesulitan jika memikirkan rancangan baju. Namun, nilai kami selalu bagus untuk setiap gerakan peragaan busana.
” Jangan bilang gitu. Harus optimis dapet nilai bagus. ” aku berusaha menyemangatinya.
” Kalo rancangan lu sendiri gimana? ”
Aku menyeringai. Jahitanku sendiri juga biasa saja. Rok panjang rample kombinasi warna merah dan hitam.
Saat di rumah aku memandang lagi hasil tugasku itu. Ini masih bisa dipermak lagi nih, batinku. Aku ke ruang tengah tempat mesin jahit ibuku berada. Lalu ke laci peralatan jahit ibu. Mencari jarum dan manik. Aku mencoba berkreasi dengan payet tambahan di rokku.
Namun karena aku memang belum mahir memayet yang terjadi kemudian, rokku malah sobek!!
Arrgghh, aku langsung pusing. Bagaimana ini? Aku tak punya bahan lagi jika harus membuat baru. Ibu juga sepertinya tak punya bahan lebih.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku.
*****
Aku tengah bersiap-siap untuk giliran selanjutnya tampil di replika peragaan busana di kelas pak Haris. Ada rasa bersalah karena aku memakai rok rancangan ibu, bukan rancanganku sendiri. Namun ibu kemarin bilang toh ini juga untuk tugas sekolahku, dan jika harus membuat lagi yang seperti ini aku pasti bisa. Karena tidak terlalu rumit. Dan yang membuatku lebih menyesal karena bu Ana tadi mengumumkan sebelum memulai penilaian jika ada hadiah lebih untuk rancangan dan peragaan yang paling tinggi nilainya. Uang tunai Rp.500.000! Hadiah dari sponsor yang memang mencari perancang dan model berbakat.
Aku tergiur sekali dengan uang itu. Jika kemarin rokku bisa selesai dengan sempurna, kesempatanku pasti lebih besar mendapatkan hadiah itu. Tapi, ya sudahlah.
” Maya. Mega, Mia dan Nana. ” panggil bu Ana.
Aku segera keluar, memperagakan baju dan rok yang kupakai. Meliuk-liuk bak model. Yang penting nilai tugasku beres, batinku.
Saat kami semua sudah selesai melakukan tugas, bu Ana menyuruh kami berderet untuk mendengar hasil nilai.
” Kalian semua bagus-bagus. Tapi hanya satu yang dapat nilai A di dua tugas ini. Maya.” aku terkejut bukan main saat bu Ana menyebut namaku. Aku dapat nilai sempurna!
Bu Ana lalu menyerahkan hadiah uang tunai itu. Aku masih membisu. Perasaan senang bukan main menjalar di setiap senti tubuhku. Bu Ana tersenyum lalu menjelaskan.
” Yang menilai bukan hanya pak Haris dan saya. Tapi juga pak Nathan. Sponsor kami. Dia benar-benar terpukau sama rok yang kamu pakai. Dia bilang seperti kenal dengan motifnya. Ada batik, ada endek, ada kain tradisional Ghana, kain sutra Yuzen bahkan juga kain kitenge. Pak Nathan orang yang mengerti fashion. Dia ga nyangka dari setiap potongan perca bisa menghasilkan baju yang sederhana namun indah. Dan juga gerakan kamu yang sudah seperti model profesional. Kalo yang ini pak Haris dan saya memang setuju sekali. Ini hadiah kamu. ”
Penjelasan bu Ana membuat mataku berkaca-kaca. Hasil karya ibu dan perjuangan bapak yang aku pertunjukkan tadi ternyata berbuah manis.
Aku sedang menerobos hujan. Ingin cepat-cepat sampai rumah. Lalu menunggu bapak pulang kerja dan senyumnya yang sudah pasti mengembang memakai baju dan celana baru yang tak perlu dipotong lagi.