Tawa Balita di Balkon Sebelah
Karya ANNZHU
Namaku Ratih. Usiaku 29 tahun 3 bulan yang lalu. Aku bekerja sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan ternama Indonesia. Aku sudah bekerja selama hampir 5 tahun ini. Jam terbang yang padat membuatku hanya bisa menikmati hari libur 2x seminggu. Aku selalu menghabiskan hari libur di apartemen mungilku yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta. Apartemen yang kubeli setahun kemarin namun baru aku tempati beberapa bulan ini karena sebelumnya aku tinggal di mess yang disediakan perusahaan. Apartemenku nyaman sekali meski ruangannya tidak terlalu besar. Hanya ada kamar tidur kecil, kamar mandi, dapur mini dan satu ruang tengah yang multifungsi sebagai ruang makan dan ruang tamu. Tempat favoritku adalah balkon yang terletak dekat dengan ruang tamu. Aku meletakkan bangku yang bisa mengayun tubuhku di sana. Selain bisa bersantai menikmati angin yang membelai lembut, aku juga bisa menikmati pemandangan senja Jakarta dari lantai 15 ini. Indah sekali.
Namun ada hal menarik yang kusadari akhir-akhir ini. Setiap aku duduk menikmati sore aku mendengar suara tawa renyah balita. Imut sekali. Tawa yang terdengar seperti ia sedang asyik bercanda dengan ayah atau ibunya.
Hahahaha…hahahahaha…..
Suara tawanya mampu membuatku tersenyum, Seakan ikut larut bersamanya. Kadang ingin aku mengintip seperti apakah rupanya. Namun, balkon kami dibatasi oleh dinding tinggi, khas apartemen pada umumnya.
Hal menarik lain yang kusadari adalah tawa balita itu hanya terdengar di hari sabtu dan minggu. Jika kebetulan aku sedang libur di hari lain, apartemen sebelah terdengar sepi.
Mungkin ia dititipkan di rumah neneknya sementara ibu dan ayahnya bekerja, pikirku.
Tawa renyah balita itu selalu terngiang di telingaku. Bahkan saat sedang makan bersama Damar kekasihku. Aku bisa mendengar tawa balita itu dari dapur miniku.
Namun Damar tidak mendengarnya.
“ Emang ada balita dimana ?’Damar mengernyitkan dahinya heran.
“ Di apartemen sebelah. “ jawabku singkat.
” Cewe cowo? “
Aku mengangkat bahu.
” Ga tahu. Belum pernah liat. ”
Damar tertawa kecil.
” Trus kamu kok yakin dia balita? ”
” Ya bedalah suaranya. Lebih imut. Lucu banget deh. ”
” Kayak aku ya. Lucu. ” Damar memasang raut muka imut sambil menempelkan telapak tangannya di wajah. Aku mendengus pelan sambil tertawa.
” Ih, amit-amit. ” ucapku bergidik. Suara tawa itu terdengar lagi.
” Tuh, dia ketawa lagi. ” seruku.
” Aku gak denger ah. ” sahut Damar. Mungkin karena telingaku yang sudah hafal suaranya, jadi lebih mudah mengenali.
” Aku pengen ketemu dia deh. ” ucapku.
” Coba aja main. ” sahut Damar lagi.
” Engga ah. Belum kenal juga sama orang tuanya. ”
” Kamu pengen punya anak ya? ” canda Damar menggodaku. Ya, diusiaku aku memang sudah ingin menikah dan punya anak. Aku sudah merencanakan pernikahan dengan Damar tahun depan.
Pukul 5 sore Damar pamit pulang. Aku meilhat langit mendung dari balkon dan hendak mengangkat jemuran baju di sana, saat aku meilhat ada kaki mungil menggantung dari pagar balkon sebelah. Wah, bahaya sekali. Aku cepat-cepat meletakkan keranjang bajuku di ruang tamu dan akan mendorong kakinya agar kembali ke dalam balkon. Namun, saat aku sampai di balkonku lagi, kaki itu sudah tak ada. Lega rasanya, berarti ayah atau bundanya sudah menyelamatkan nyawa balita itu dari bahaya.
Aku sedang menonton televisi di suatu minggu siang setelah hampir sebulan jatah liburku di hari lain. Aku merindukan tawa balita itu. Aku menunggu suara tawanya. Namun sudah hampir 1 jam aku menunggu, tawa itu belum terdengar. Apa mungkin dia masih tertidur.
Hahahaha…hahahaha….
Akhirnya, tawa renyah yang kurindukan terdengar. Aku tersenyum lebar. Bagaimana bisa suara tawa balita dari balkon sebelah bisa sangat membuatku bahagia?
Perutku yang bergemuruh menandakan betapa laparnya diriku.
Aku berjalan menuju dapur. Membuka kulkas miniku dan ternyata bahan makananku sudah habis.
Ah iya, aku lupa belanja.
Balita sebelah masih tertawa renyah, saat kusambar tasku dan melangkah keluar apartemen.
Yang mengejutkan adalah, tampak sepasang suami istri tengah membuka apartemen sebelah.
Loh, masa balita itu sendirian? Ah, mungkin bersama neneknya. Emmm, aku coba main sebentar ah, pengen kenalan dulu sama si gemas itu.
” Halo, saya Ratih. ” kataku memperkenalkan diri. Mereka menoleh dan membalas uluran tanganku. Entah kenapa tersirat kesedihan yang teramat dalam dari wajah wanita ini.
” Halo, saya Murni. Ini suami saya Surya. ” ucapnya. Lalu aku mengutarakan keinginanku yang ingin mengenal balita mereka.
” Saya boleh main ga? Pengen kenalan sama dedeknya.” aku tersenyum. Namun, yang terjadi kemudian Murni malah menangis dan memeluk Surya. Suaminya menepuk punggung Murni sambil menatap tajam padaku.
” Maksudnya apa mba Ratih? “
Aku yang masih heran dengan reaksi mereka mencoba menjelaskan maksudku.
” Itu, tadi saya denger dedeknya lagi ketawa. Jadi saya pengen kenalan. ” ucapku. Murni menatapku dengan mata berkaca-kaca.
” Ehh..dia lagi sama siapa didalam? Barusan sebelum keluar saya denger dia masih ketawa. ” aku melanjutkan ucapanku. Surya menghela napas panjang.
” Mba, saya sama istri saya baru sampe mau ambil barang yang ketinggalan. Kita disini hanya dari senin sampai jumat. Sabtu dan minggu kita nginap di rumah orang tua. ”
Aku ternganga.
” Lagipula suara siapa yang mba maksud?”
” Anak kami meninggal mba setahun yang lalu karena pengasuhnya yang teledor, sampai dia jatuh dari balkon. Tempat maim favoritnya dia setiap sore.”
Aku masih ternganga.